UIN Alauddin dan Geliat Gerakan Lintas Iman di Makassar

  • 06:21 WITA
  • Administrator
  • Artikel

“Mereka yang bukan saudaramu dalam iman,

adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Ali bin Abi Thalib

Geliat dialog lintas iman di Makassar beberapa tahun belakangan ini mengalami peningkatan pesat. Trend positif ini terjadi dengan hadirnya banyak gerakan-gerakan lintas iman yang mengusung tinggi semangat keberagaman dan penghargaan terhadap identitas keimanan yang berbeda. Menariknya, gerakan-gerakan perdamaian ini justru digerakkan oleh anak-anak muda. Para aktivis perdamaian dan lintas iman ini berasal dari berbagai latar belakang dan dari berbagai kelompok lintas iman.

Setidaknya, hingga kini ada beberapa gerakan yang memiliki fokus pada isu perdamaian dan dialog lintas iman. Sebut saja Jalin Harmoni, MIPG, Peace Gen Makassar, PISS, Gen Peace, Gusdurian dan Kita Bhineka. Kelompok-kelompok ini secara bergantian melaksanakan berbagai macam kegiatan “penyadaran” akan pentingnya menghargai keberagaman dan membangun semangat persaudaraan lintas iman. Kehadiran gerakan semacam ini tentu menjadi angin segar di tengah meningkatnya eksklusivisme beragama dan sikap intoleransi.

Hasil penelitian PPIM UIN Jakarta terkait sikap ekslusivitas beragama dan intoleransi generasi muda Indonesia menyebutkan bahwa 33,34 persen anak muda Indonesia generasi Z justru setuju bahwa tindakan intoleran kepada minoritas tidaklah masalah. 34,03 persen setuju bahwa mereka yang murtad harus dibunuh. Sedang 65,53 persen guru dan dosen di Indonesia tidak setuju jika rumah ibadah orang lain berada di sekitar mereka.

Pemahaman dan Pengalaman Lintas Iman

Sebagai sebuah negara yang penduduknya majemuk, penghargaan terhadap mereka yang berbeda dan keinginan untuk tetap membangun relasi terhadap mereka yang berbeda iman adalah keniscayaan dan tentu harus digalakkan. Terkait dengan hal itu, ada hal penting yang yang seharusnya menjadi konsern kita semua yakni; Pemahaman Lintas Iman dan Pengalaman Lintas Iman.

Pemahaman lintas iman meliputi bagaimana upaya-upaya untuk untuk mencoba memahami sedikit demi sedikit atau mencoba mengenal iman yang lain. Tujuannya tentu bukan untuk mencari kelemahan, atau mencari iman yang lebih baik. Namun semata-mata untuk sedikit mengetahui pemahaman iman yang lain. Selama ini, meski merupakan masyarakat yang sangat plural terkait dengan agama, toh kita kekurangan tempat atau forum untuk saling mengenal dan mengetahui.

Pada akhirnya, yang terjadi adalah pemahaman akan iman berbeda yang justru dibangun atas dasar persepsi yang keliru atau bahkan dari hoax yang beredar di dunia maya. Ummat Islam yang ingin mempelajari Kristen membaca buku yang ditulis oleh penulis yang anti Kristen. Sebaliknya, mereka yang ingin mengetahui Islam, membaca buku yang juga dikarang oleh orang yang anti Islam. Akhirnya, masyarakat hidup dalam pemhaman yang dibangun atas landasan yang keliru.

Sedangkan pengalaman lintas iman meliputi momen atau kegiatan yang memungkinkan masyarakat berbeda iman merasakan pengalaman berinteraksi bersama dengan mereka yang berbeda iman. Hal ini penting karena ternyata ada banyak orang yang selama hidupnya tidak pernah berinteraksi dengan mereka yang berbeda iman, tidak pernah berjabat tangan dengan mereka yang berbeda iman, bahkan tidak pernah berbicara dengan mereka yang berbeda iman. Ini tentu menyedihkan karena terjadi di sebuah negara yang sangat plural seperti Indonesia.

Untuk itulah, dialog lintas iman menjadi sangat krusial. Dialog lintas iman memungkinkan penganut yang berbeda iman duduk bersama dan mendapatkan informasi langsung dari pemeluk agama yang bersangkutan. Dialog lintas iman berfungsi bukan hanya sebagai tempat untuk berbagi pemahaman lintas iman, namun juga menjadi ajang dimana pengalaman lintas iman bisa terjadi.

Sayangnya, tidak semua orang setuju terhadap konsep dialog lintas iman ini.  Mereka yang menolak dialog lintas iman seringkali mencurigai dialog lintas iman yang dilaksanakan memiliki misi terselubung. Dialog lintas iman seringkali dianggap produk Barat, didanai Barat dan bertujuan untuk mensekulerkan ummat Muslim. Padahal, dialog lintas iman adalah sebuah platform yang dibangun untuk menjalin simpul pemahaman oleh penganut iman yang berbeda.

Di negara-negara di mana ummat Islam merupakan minoritas, dialog lintas iman justru digalakkan demi membangun sikap keterbukaan dan pemahaman yang lebih komprehensip terhadap Islam. Dialog lintas iman juga dilksanakan guna mencegah munculnya sikap Islamophobia tehadap Islam. Yang menarik karena gerakan ini justru banyak dilaksanakan di dalam kampus. Kampus sebesar University of Cambridge misalnya memiliki The Cambridge Inter-Faith Programme yang didirikan sejak tahun 2002. Program ini memungkinkan pemeluk Islam, Kristen dan Yahudi untuk dapat duduk bersama dan membangun hubungan yang lebih baik di antara pemeluk agama.

Bagi Leonard Swidler, Guru Besar Dialog antar Agama, Temple University. Dialog menjadi sebuah hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Apalagi saat ini manusia telah meninggallkan Era Monolog menuju sebuah Era Dialog Global (The Age of Global Age, 2017). Pentingya dialog adalah memberikan kesempatan bagi setiap kelompok untuk menjelaskan diri mereka. Sebaga contoh menurut Swidler, Hanya orang Budha yang faham dan mampu mendefinisikan bagaimana rasanya menjadi seorang Budha.

Posisi UINAM

Pertanyaanya, di mana posisi UIN Makassar di tengah geliat gerakan dan dialog lintas iman. Apakah UIN Makassar mengambil posisi yang pada jamaknya banyak dilakukan oleh masyarakat dunia akademik yang hanya menjadikan fenomena ini sebagai sebatas bahan kajian bagi mahasiswa dan juga dosen. Atau masyarakat UIN Alauddin juga ikut terlibat langsung dalam geliat gerakan ini. Atau bahkan secara berani membangun lembaga dan komunitas lintas iman di dalam kampus UIN sendiri. Tentu ini tidak mudah mengingat akan muncul penetangan dari pihak-pihak luar. Namun UIN harus berani dan tidak tunduk pada keinginan kelompok tertentu yang menginginkan UIN menjadi sebuah kampus yang eksksluif dan anti terhadap keberagaman.

Tantangan bagi mahasiswa UIN adalah, sebagai mahasiswa yang kuliah di sebuah kampus Islam yang menggusung tema peradaban, apakah mereka mau membuka diri untuk ikut terlibat dalam gerakan dan dialog akan iman yang berbeda. Tentu ini tidak mudah karena mahasiswa cenderung melihat pembicaraan lintas iman dianggap hanya milik mahasiswa prodi Studi Agama-Agama. Ditambah lagi, isu dialog antar iman dianggap tidak seksi jika dibandingkan dengan isu politik. Organisasi ekstra kampus yang selama ini juga berposisi sebagai lokomotif gerakan mahasiswa baik itu  HMI, PMII, IMM ataupun KAMMI juga diharapkan tidak hanya melulu membicarakan politik praktis namun juga bisa terlibat dalam usaha-usaha membangun dialog dan jaringan lintas iman.

Dialog lintas iman adalah keniscayaan dan UIN Alauddin Makassar seharusnya dapat menjadi pelopor. Bukan hanya menjadi penonton. Kita tentu tidak ingin di saat geliat gerakan lintas iman di Makassar terjadi, mahasiswa UIN justru asyik dengan semangat anti keberagaman dan melihat iman yang berbeda sebagai musuh. Berangkat dari pengalaman, penulis telah dua kali mendengarkan ujaran kebencian kepada iman yang berbeda dilontarkan di dalam kampus. Anehnya, ujaran kebencian ini diucapkan di dalam mesjid kampus UIN. Pada sebuah forum kajian yang dilaksanakan dan dihadiri oleh mahasiswa UIN.

Sudah bukan saatnya lagi bagi kita melihat mereka yang berbeda iman sebagai musuh yang harus dijauhi. K.H. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur suatu ketika pernah mengatakan; “Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini.”

Wallahu A’lam bi’al-Shawwab


Penulis: Syamsul Arif  Galib

Dosen Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UINAM / Co-Founder Mahabbah Institute for Peace and Goodness (MIPG)

Source: Majalah UNIVERSUM