Tak Ada Cara Instan dalam Beragama

  • 01:19 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Apakah semarak dakwah dan pembelajaran agama di setiap Ramadan berpengaruh signifikan bagi perubahan prilaku keberagamaan kita ke arah yang lebih substantif dan produktif dari tahun ke tahun? Pertanyaan ini penting karena, dalam komunitas Muslim, yang lebih menonjol adalah fenomena keberagamaan ritual-simbolik atau aksi komunal berlabel agama seperti kemeriahan salat tarawih; semarak perjalanan umrah; gegap gempita tablig akbar; iring-iringan panjang pawai anti-Barat atau pro-khilafah; tumpah ruah pasar kaget komoditas berbau agama, dsb.

Namun, tampaknya, kesalehan ritual seperti ini cenderung hanya membentuk karakter individu yang egois, pasif, angkuh, suka pamer dan kejar status. Banyak orang bangga menampilkan kesalehan ritual di ruang privat atau tempat ibadah, tapi tak segan memperagakan prilaku asosial di ruang publik. Tengoklah ciri umum lingkungan sosial di mana komunitas Muslim hidup: sampah bertebaran, comberan mampat, lalu lintas semrawut, hak-hak asasi yang terampas, kriminalitas yang membudaya seperti penjambretan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, perkelahian warga, korupsi dsb.

Ini tentu suatu paradoks luar biasa. Dakwah begitu massif dan intensif lewat  mimbar masjid dan media berbasis teknologi modern. Tapi, pada saat yang sama, tindakan anarkis, asosial, asusila, anti kultur dan kearifan lokal juga makin ekstensif. Di satu riset ilmiah tentang negara paling ‘Islami’ berdasarkan index tertentu, Indonesia hanya menduduki rangking 140 dari 208 negara yang diteliti. Sepuluh rangking paling ‘Islami’ justru diraih negara-negara yang tergolong sekuler, berturut-turut, Selandia Baru, Luksemburg, Irlandia, Islandia, Finlandia, Denmark, Kanada, Inggris,Australia dan Belanda. Kok bisa? Tiga faktor berikut mungkin bisa menjelaskan fenomena ini.

Pertama, saat Islam pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak abad ke-13 hingga ke-17, yang lebih ditekankan hanya sebatas larangan praktik pra-Islam yang bertentangan dengan Syariat. Di Sulsel, misalnya, ketiga ulama asal Sumatera penyebar awal Islam hanya mengajarkan larangan memberi sesajen kepada roh dan jin, menyembah berhala, mendatangi dukun atau ahli nujum, mensakralkan benda,makan babi, minuman keras, berzina, makan riba, dan berjudi. Tampaknya, mengajarkan dimensi sains-intelektual, sosio-kultural dan ekonomi-politik Islam yang justru jadi prasyarat membangun masyarakat beradab belum dipandang penting selama periode ini. Efek Islamisasi struktural dan fikhiyah ini masih dapat terlihat sekarang. Banyak orang, misalnya, begitu takut memakan daging babi tapi lahap menyantap makanan dari hasil korupsi.

Kedua, porsi pengajaran Islam di lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren pun lebih berpusar pada perkara fikih: salat, zakat, puasa,haji, taharah, khitanan, kewarisan, nikah, dsb. Atau hukum halal, haram, wajib, sunnah, mubah dan makruh. Ibadah ritual mendapatkan prioritas penting sebagai wahana menabung pahala demi kebahagiaan ukhrawi. Penyempitan makna seperti ini membawa agama tampak tak punya relevansi langsung dengan kehidupan duniawi yang konkret; atau jadi pedoman praktis meraih hidup makmur, sehat, sejahtera dan damai di dunia ini. Pesan moral-etik agama dalam rangka kebajikan hidup bersama seperti, kejujuran, kedisiplinan, keadilan, keterbukaan, kerukunan, kesederhanaan, kerendahhatian, dan kedermawanan justru terabaikan. Tak heran, seorang berpenampilan layaknya seorang kiyai lengkap dengan tasbih di tangan dan dua bulatan hitam di dahi bisa dengan tenang merokok di kendaraan umum, melanggar aturan berlalu lintas, atau buang sampah di saluran drainase sambil tetap merasa sebagai seorang Muslim paripurna.

Ketiga, pemahaman agama sekedar sebagai ritual-simbolik membawa kepada kultur ekonomi kapitalistik dalam beragama. Satu prinsip utama kapitalisme, menggunakan sumber daya ekonomi sekecil mungkin tapi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Bagi seorang Muslim, pahala adalah semacam modal yang harus dikumpulkan sebanyak mungkin sebagai tabungan kebahagiaan akhirat. Maka yang diburu adalah momen, tempat, dan cara di mana pengamalan ibadah ritual yang singkat, ringan dan sedikit bisa menghasilkan balasan pahala berlipat ganda. Misalnya, Yasinan tiap malam Jum’at, puasa Rajab, salat nisfu Sya’ban, atau tadarusan, salat tarawih dan sadaqah di bulan Ramadan, salat di Maqam Ibrahim di Masjid Haram atau di Rawdah di Masjid Nabawi. Salat tarawih supercepat 23 rakaat dalam tempo15 menit di satu masjid di Blitar adalah contoh penerapan prinsip kapitalisme dalam beribadah. Bagi banyak orang, bukan kualitas dan penubuhan pesan-pesan agama dari setiap ritual itu yang penting, tapi kalkulasi pelipatgandaan pahala berdasarkan tempat, saat dan cara pelaksanaannya. Tak heran, banyak orang mengaku bisa khatam Qur’an hingga tiga kali setiap Ramadan tapi sama sekali takpaham maknanya. Lalu, kira-kira apa manfaat konkret Al-Qur’an bagi orang-orang seperti ini kecuali sekedar deposito pahala ukhrawi yang melimpah?

Beragama sejatinya adalah sebuah proses evolutif mentrasformasi diri, mendarahdagingkan seluruh dimensi agama dalam hidup, pikiran dan prilaku kita. Untuk itu diperlukan proses rutinisasi, pembiasaan dan penggemblengan jasmani dan rohani yang berat lewat pengamalan ritus-ritus agama secara serius dan konsisten sepanjanghayat. Kata Nabi saw, ibadah bernilai bukan karena kuantitas pengamalannya dalam waktu singkat tapi pada konsistensi dan kontinuitas pelaksanaanya walau kuantitasnya kecil. Karena itu, sesungguhnya tak ada cara instan dalam beragama, misalnya dengan memburu momentum dan medium di mana amalan singkat dan ringan akan mendapatkan pahala berlipat-ganda. Seperti seorang santri yang harus menempuh jarak yang jauh, waktu bertahun-tahun, dan pengkhidmatan pada seorang guru demi beroleh barakah dalam menuntut ilmu, beragama pun memerlukan keuletan, ketekunan, kesabaran dan daya tahan menjalankan setiap ritual agama secara benar, konsisten dan berkelanjutan. Nabi saw sudah mengingatkan, jihad terbesar justru adalah melawan diri sendiri (jihad al-nafs), yaitu mengekang hawa nafsu, mendisiplinkan diri, meruntuhkan egoisme,dan menundukkan kemalasan.

Kita tak dapat menipu Allah dengan menawarkan ibadah-ibadah instan kita demi mendapat imbalan surga-Nya. ‘No pain no gain’, kata pribahasa Inggris; takkan ada hasil kecuali lewat kerja keras. Kata Allah, ‘Manusia takkan mendapatkan kecuali apa yang mereka usahakan’. Pengetahuan agama yang mendalam dan berefek transformatif takbisa diraih hanya sambil bersantai mendengar ceramah instan dan menghibur di mimbar masjid, tablig akbar, atau media elektronik selama Ramadan. Pengetahuan sejati diperoleh dengan membaca dan membaca sepanjang hayat. Wahyu Allah pertama kepada Nabi Saw adalah perintah membaca (iqra’), bukan menyembah. Sayangnya, kebanyakan masyarakat kita malas membaca, apalagi mencari pengetahuan secara mandiri. Mereka umumnya jadi pemirsa televisi yang tekun atau penggemar fanatik dai selebriti yang retorikanya membuat mereka terkesima, terbahak dan menangis, entah karena apa. Padahal, sejarah dunia mencatat, hanya bangsa yang gandrung membaca dan mencintai pengetahuan yang berhasil membangun sebuah peradaban.


Penulis: Wahyuddin Halim, Ph.D

Dosen Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UINAM

(Artikel Opini sebelumnya pernah dimuat di harian Fajar, Senin 29 Juni 2015)