Kuliah Umum SAA UINAM; Polarisasi Agama di Indonesia, Setengah Abad Pasca Clifford Geertz

  • 12 Maret 2020
  • 12:00 WITA
  • Administrator
  • Berita


Bertempat di LT Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, Prodi Studi Agama Agama UINAM melaksanakan Kuliah Umum dengan tema, Polarisasi Agama; Setengah Abad Pasca Clifford Geertz.

Hadir sebagai pembicara dalam kuliah umum ini adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Dr. Muhsin, M.Ag serta Amanah Nurish, Ph.D. dosen Pascasarjana Universitas Indonesia sekaligus penulis buku Agama Jawa; Setengah Abad Pasca Clifford Geertz.

Dalam paparannya, Mushin Mahfudz  menekankan pentingnya kesadaran untuk belajar interdisipliner. Bahwa seorang mahasiswa Ilmu Tafsirr juga dianggap penting untuk belajar tentang Antropologi. 

Muhsin juga membeberkan beberapa kritik yang diarahkan kepada Geertz terkait trikotominya tentang Santri, Priyayi dan Abangan. Hal ini karena klasifikasi Santri dan Abangan didasarkan pada agama, namun Priyayi didasarkan pada sosial.

Nurish sendiri dalam paparannya memulai dengan menunjukkan betapa penting posisi Indonesia di Asia Tenggara terutama dalam kajian Antropologis. Mereka yang ingin belajar Asia Tenggara wajib ke Indonesia.

Selain itu, menurutnya telah terjadi Evolusi Agama di Indonesia. Evolusi agama tidak hanya terkait bagaimana sebuah agama berkembang namun juga terkait bagaimana perubahan agama yang dianut oleh sebuah masyarakat.  Di Indonesia, itu terlihat dengan masyarakat Nusantara yang ada awalnya Animisme, lalu Hindu, Budha, Kristen dan Islam.

Bagi Nurish, agama lokal di Indonesia telah lahir, tumbuh dan berkembang sejak berabad abad lamanya. Setidaknya ada ratusan aliran kepercayaan atau agama agama lokal yang masih bertahan sampai hari ini. Aliran kepercayaan atau agama agama lokal yang sarat dengan animisme, dinamisme ataupun toteisme ini masih cukup kuat dan mengakar pada masyarakat. Sayangnya, perjalanan aliran kepercayaan dan agama lokal di Indonesia tidak semulus enam agama “resmi’ lainnya di Indonesia.

Terkait Geertz, menurut Nurish, meski mengalami kritik, namun selama setengah abad lebih, dunia antropologi dan sosiologi agama di Indonesia khususnya tentang kajian tidak bisa lepas dari teori Geertz terkait trikotomi Santri, Abangan dan Priyayi.

Terlepas dari kritik yang diarahkan kepada Geertz, kita tidak bisa menampik bahwa Geertz telah membantu kita dalam melihat dan membaca Islam di Indonesia dalam hal ini di Jawa pada khususnya. (SAG)