MAKASSAR, BLAM – Sebanyak 80 mahasiswa Program Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, menyambangi Kantor Balai Litbang Agama Makassar (BLAM), Jumat siang, 6 Desember 2019.
Ditemani Ketua Prodi Studi Agama-Agama, Sitti Syakirah Abu Nawas, M.Th.I, dan beberapa dosen, puluhan mahasiswa ini ingin mendengarkan “ceramah”, sekaligus mendiskusikan terkait Moderasi Beragama dan hasil-hasil penelitian BLAM, terutama menyangkut Kerukunan Umat Beragama di Kawasan Timur Indonesia.
Pada kunjungan ini, mahasiswa diterima oleh Peneliti Bidang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan BLAM. Kebetulan, penelitian mengenai Moderasi Beragama dan Kerukunan Umat Beragama adalah bidang kajian Peneliti Bimas.
Kepala BLAM, H. Saprillah, M.Si, mengaku senang atas kedatangan mahasiswa ke BLAM. Menurutnya, BLAM dan kampus itu memiliki kemiripan, yaitu sama-sama melakukan riset, dan mengelola ilmu pengetahuan, yang kemudian hasil dari kolaborasi ilmu pengetahuan dan riset tersebut, digunakan untuk kebermanfaatan masyarakat.
Saprillah menyatakan, BLAM sejak dulu sangat concern terhadap isu-isu Moderasi Beragama dan Kerukunan Umat Beragama. Berdasarkan temuan lapangan peneliti di sejumlah daerah di Indonesia bagian timur, relasi antarumat beragama yang dikaji peneliti lebih dititikberatkan kepada praktik-praktik kerukunan, serta toleransi yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat.
“Dalam penelitian BLAM, kami ingin melihat bagaimana perjumpaan masyarakat yang berbeda agama dalam kaitannya dengan relasi sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya,” jelas Saprillah.
Peneliti Bidang Bimas, Syamsurijal, yang menjadi narasumber, menjelaskan, temuan penelitian BLAM mengenai Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Timur secara umum dapat dikatakan baik.
Meski begitu, relasi yang terbangun di dalam masyarakat belum masuk kategori aktif, dan dalam beberap hal, cenderung menunjukkan toleransi yang canggung. Yang paling kentara adalah dalam soal perayaan hari-hari besar keagamaan.
“Namun, ada juga beberapa daerah yang kami jadikan sasaran penelitian, menunjukkan toleransi aktif. Misalnya, masih ada warga yang berbeda agama saling mengunjung ketika merayakan hari-hari keagamaan, ada kerjasama, dan bahkan bergotong royong membangun rumah ibadat, meski berbeda agama,” jelas Syamsurijal.
Selain memaparkan hasil penelitian Bidang Bimas, Syamsurijal, juga memutarkan video yang menggambarkan best practice kerukunan umat beragama di Tana Toraja. Film yang kini dapat ditonton di Youtube ini, merupakan salah satu kegiatan pengembangan Peneliti Bimas terkait kerukunan umat beragama.
Sementara itu, jalannya diskusi berlangsung menarik. Beberapa mahasiswa terlihat bersemangat mengajukan pertanyaan.
Salah seorang mahasiswi yang mengenakan cadar, bahkan menanyakan bagaimana seharusnya dirinya bersikap di tengah masyarakat, sedangkan ia menganggap masih ada sebagian masyarakat yang terlanjur memberikan predikat radikalisme dan terorisme terhadap perempuan bercadar.
Menurut Ijal, sapaan akrab Syamsurijal, apapun bentuk pakaian yang dikenakan seseorang, maka orang tersebut mesti dihargai dan dihormati. Sebab, pakaian juga merupakan salah satu bentuk mengekspresikan agama.
“Sepanjang orang bercadar itu tidak menganggap orang yang tidak bercardar sebagai orang bersalah, berdosa, dan sebagainya, maka tidak ada persoalan,” kata Syamsurijal, sembari menambahkan, jangan menutup diri dari pergaulan positif.
“Saya sarankan juga untuk tidak menutup diri dari pergaulan. Ketika kita bergaul, maka di satu sisi, kita menguatkan identitas keagaman kita. Ttetapi pada sisi lain, kita juga mesti membuka diri dan bergaul dengan kelompok lain, atau yang berbeda dengan kita,” katanya.
“Kalau cara berbicara kita santun, berbuat baik, arif, dan membawa kemaslahatan, lama kelamaan orang-orang yang dulunya memberikan stigma akan berubah cara pandangnya,” imbuh Syamsurijal. (ir)
Disclaimer:
Tulisan ini sebelumnya pernah diterbitkan di: https://blamakassar.co.id/2019/12/06/blam-mahasiswa-uin-diskusikan-moderasi-beragama-peneliti-syamsurijal-kita-mesti-membuka-diri-dengan-kelompok-lain/