“Mereka yang bukan
saudaramu dalam iman,
adalah saudaramu
dalam kemanusiaan.”
Ali
bin Abi Thalib
Geliat dialog lintas iman di
Makassar beberapa tahun belakangan ini mengalami peningkatan pesat. Trend
positif ini terjadi dengan hadirnya banyak gerakan-gerakan lintas iman yang
mengusung tinggi semangat keberagaman dan penghargaan terhadap identitas
keimanan yang berbeda. Menariknya, gerakan-gerakan perdamaian ini justru
digerakkan oleh anak-anak muda. Para aktivis perdamaian dan lintas iman ini
berasal dari berbagai latar belakang dan dari berbagai kelompok lintas iman.
Setidaknya, hingga kini ada
beberapa gerakan yang memiliki fokus pada isu perdamaian dan dialog lintas
iman. Sebut saja Jalin Harmoni, MIPG, Peace Gen Makassar, PISS, Gen Peace,
Gusdurian dan Kita Bhineka. Kelompok-kelompok ini secara bergantian
melaksanakan berbagai macam kegiatan “penyadaran” akan pentingnya menghargai
keberagaman dan membangun semangat persaudaraan lintas iman. Kehadiran gerakan
semacam ini tentu menjadi angin segar di tengah meningkatnya eksklusivisme
beragama dan sikap intoleransi.
Hasil penelitian PPIM UIN
Jakarta terkait sikap ekslusivitas beragama dan intoleransi generasi muda
Indonesia menyebutkan bahwa 33,34 persen anak muda Indonesia generasi Z justru
setuju bahwa tindakan intoleran kepada minoritas tidaklah masalah. 34,03 persen
setuju bahwa mereka yang murtad harus dibunuh. Sedang 65,53 persen guru dan
dosen di Indonesia tidak setuju jika rumah ibadah orang lain berada di sekitar
mereka.
Pemahaman
dan Pengalaman Lintas Iman
Sebagai sebuah negara yang
penduduknya majemuk, penghargaan terhadap mereka yang berbeda dan keinginan
untuk tetap membangun relasi terhadap mereka yang berbeda iman adalah
keniscayaan dan tentu harus digalakkan. Terkait dengan hal itu, ada hal penting
yang yang seharusnya menjadi konsern kita semua yakni; Pemahaman Lintas Iman
dan Pengalaman Lintas Iman.
Pemahaman lintas iman
meliputi bagaimana upaya-upaya untuk untuk mencoba memahami sedikit demi
sedikit atau mencoba mengenal iman yang lain. Tujuannya tentu bukan untuk
mencari kelemahan, atau mencari iman yang lebih baik. Namun semata-mata untuk
sedikit mengetahui pemahaman iman yang lain. Selama ini, meski merupakan
masyarakat yang sangat plural terkait dengan agama, toh kita kekurangan tempat
atau forum untuk saling mengenal dan mengetahui.
Pada akhirnya, yang terjadi
adalah pemahaman akan iman berbeda yang justru dibangun atas dasar persepsi
yang keliru atau bahkan dari hoax yang beredar di dunia maya. Ummat Islam yang
ingin mempelajari Kristen membaca buku yang ditulis oleh penulis yang anti
Kristen. Sebaliknya, mereka yang ingin mengetahui Islam, membaca buku yang juga
dikarang oleh orang yang anti Islam. Akhirnya, masyarakat hidup dalam pemhaman
yang dibangun atas landasan yang keliru.
Sedangkan pengalaman lintas
iman meliputi momen atau kegiatan yang memungkinkan masyarakat berbeda iman
merasakan pengalaman berinteraksi bersama dengan mereka yang berbeda iman. Hal
ini penting karena ternyata ada banyak orang yang selama hidupnya tidak pernah
berinteraksi dengan mereka yang berbeda iman, tidak pernah berjabat tangan
dengan mereka yang berbeda iman, bahkan tidak pernah berbicara dengan mereka
yang berbeda iman. Ini tentu menyedihkan karena terjadi di sebuah negara yang
sangat plural seperti Indonesia.
Untuk itulah, dialog lintas
iman menjadi sangat krusial. Dialog lintas iman memungkinkan penganut yang
berbeda iman duduk bersama dan mendapatkan informasi langsung dari pemeluk
agama yang bersangkutan. Dialog lintas iman berfungsi bukan hanya sebagai tempat
untuk berbagi pemahaman lintas iman, namun juga menjadi ajang dimana pengalaman
lintas iman bisa terjadi.
Sayangnya, tidak semua orang
setuju terhadap konsep dialog lintas iman ini. Mereka yang menolak dialog lintas iman
seringkali mencurigai dialog lintas iman yang dilaksanakan memiliki misi
terselubung. Dialog lintas iman
seringkali dianggap produk Barat, didanai Barat dan bertujuan untuk
mensekulerkan ummat Muslim. Padahal, dialog lintas iman adalah sebuah platform yang dibangun untuk menjalin
simpul pemahaman oleh penganut iman yang berbeda.
Di negara-negara di mana
ummat Islam merupakan minoritas, dialog lintas iman justru digalakkan demi
membangun sikap keterbukaan dan pemahaman yang lebih komprehensip terhadap
Islam. Dialog lintas iman juga dilksanakan guna mencegah munculnya sikap Islamophobia
tehadap Islam. Yang menarik karena gerakan ini justru banyak dilaksanakan di
dalam kampus. Kampus sebesar University of Cambridge misalnya memiliki The
Cambridge Inter-Faith Programme yang didirikan sejak tahun 2002. Program ini
memungkinkan pemeluk Islam, Kristen dan Yahudi untuk dapat duduk bersama dan
membangun hubungan yang lebih baik di antara pemeluk agama.
Bagi Leonard Swidler, Guru
Besar Dialog antar Agama, Temple University. Dialog menjadi sebuah hal yang tak
terpisahkan dalam kehidupan manusia. Apalagi saat ini manusia telah
meninggallkan Era Monolog menuju sebuah Era Dialog Global (The Age of Global
Age, 2017). Pentingya dialog adalah memberikan kesempatan bagi setiap kelompok
untuk menjelaskan diri mereka. Sebaga contoh menurut Swidler, Hanya orang Budha
yang faham dan mampu mendefinisikan bagaimana rasanya menjadi seorang Budha.
Posisi
UINAM
Pertanyaanya, di mana posisi
UIN Makassar di tengah geliat gerakan dan dialog lintas iman. Apakah UIN
Makassar mengambil posisi yang pada jamaknya banyak dilakukan oleh masyarakat
dunia akademik yang hanya menjadikan fenomena ini sebagai sebatas bahan kajian
bagi mahasiswa dan juga dosen. Atau masyarakat UIN Alauddin juga ikut terlibat
langsung dalam geliat gerakan ini. Atau bahkan secara berani membangun lembaga
dan komunitas lintas iman di dalam kampus UIN sendiri. Tentu ini tidak mudah
mengingat akan muncul penetangan dari pihak-pihak luar. Namun UIN harus berani
dan tidak tunduk pada keinginan kelompok tertentu yang menginginkan UIN menjadi
sebuah kampus yang eksksluif dan anti terhadap keberagaman.
Tantangan bagi mahasiswa UIN
adalah, sebagai mahasiswa yang kuliah di sebuah kampus Islam yang menggusung
tema peradaban, apakah mereka mau membuka diri untuk ikut terlibat dalam gerakan
dan dialog akan iman yang berbeda. Tentu ini tidak mudah karena mahasiswa
cenderung melihat pembicaraan lintas iman dianggap hanya milik mahasiswa prodi
Studi Agama-Agama. Ditambah lagi, isu dialog antar iman dianggap tidak seksi
jika dibandingkan dengan isu politik. Organisasi ekstra kampus yang selama ini
juga berposisi sebagai lokomotif gerakan mahasiswa baik itu HMI, PMII, IMM ataupun KAMMI juga diharapkan
tidak hanya melulu membicarakan politik praktis namun juga bisa terlibat dalam
usaha-usaha membangun dialog dan jaringan lintas iman.
Dialog lintas iman adalah
keniscayaan dan UIN Alauddin Makassar seharusnya dapat menjadi pelopor. Bukan
hanya menjadi penonton. Kita tentu tidak ingin di saat geliat gerakan lintas
iman di Makassar terjadi, mahasiswa UIN justru asyik dengan semangat anti
keberagaman dan melihat iman yang berbeda sebagai musuh. Berangkat dari
pengalaman, penulis telah dua kali mendengarkan ujaran kebencian kepada iman
yang berbeda dilontarkan di dalam kampus. Anehnya, ujaran kebencian ini diucapkan
di dalam mesjid kampus UIN. Pada sebuah forum kajian yang dilaksanakan dan
dihadiri oleh mahasiswa UIN.
Sudah bukan saatnya lagi bagi
kita melihat mereka yang berbeda iman sebagai musuh yang harus dijauhi. K.H. Abdurrahman
Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur suatu ketika pernah mengatakan; “Saya
adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi
saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini.”
Wallahu A’lam bi’al-Shawwab
Penulis: Syamsul Arif Galib
Dosen Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UINAM / Co-Founder Mahabbah Institute for Peace and Goodness (MIPG)
Source: Majalah UNIVERSUM