Wherever people are found, there too is religion - Dimana masyarakat berada, maka di situ ada agama. Itu yang diyakini Lewis M. Hopfe, seorang pengajar Studi Agama di Kendall College, Illinois, Amerika Serikat. Hopfe yang menulis buku Religions of the World menyebutkan bahwa dari kota metropolitan yang besar hingga area yang dianggap terbelakang dan jauh dari modernitas sekalipun, kita pasti akan menemukan tempat ibadah atau monumen yang dibuat masyarakat sebagai ekspresi beragama mereka.
Meskipun sebahagian orang menganggap bahwa agama mengalami kemunduran, namun apa yang diyakini Hopfe dapat kita saksikan melalui jejak-jejak agama yang kita temukan berdiri megah di berbagai belahan dunia. Dari Amerika hingga Botswana, Dari Australia hingga Brazil, dari Rusia hingga Indonesia, rumah-rumah ibadah ummat beragama berdiri megah. Penganut agama Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Tao, Shinto, Baha’i, Jaina, Sikh, Zoroaster, Druze dan penganut agama lainnya membangun tempat peribadatan sebagai salah satu bentuk manifestasi akan kepercayaan dan ketaaatan manusia tentang apa yang mereka percayai sebagai agama.
Tentu membangun definisi agama tidak mudah. Dalam kajian Studi Agama sendiri, kata agama atau religion, dianggap sebagai contested term, atau istilah yang masih terus diperdebatkan. Setiap defenisi tentang agama yang dibangun oleh para tokoh terkait agama didasarkan pada pengalaman dan pecarian yang dilakukan oleh setiap tokoh yang mencoba mendefinisikannya.
Satu definisi yang dianggap sebagai definisi agama yang sebenarnya, mungkin bisa digunakan pada agama tertentu namun tidak berlaku pada agama yang lain. Hal ini terjadi karena satu agama dengan agama lainnya bisa saja memiliki perbedaan yang sangat prinsipil. Tidak semua agama membicarakan Tuhan, tidak semua agama mebincangkan Nabi, tidak semua agama memiliki kitab suci dan tidak semua agama membincang surga dan neraka. Namun pada hakikatnya, semua agama sesungguhnya mengajak pada nilai kebaikan yang universal.
Sayangnya, pemahaman akan pluralitas agama seringkali difahami terbatas karena keterbatasan informasi dan ketidaktahuan masyarakat. Di Indonesia misalnya. Karena Negara hanya mengakomodir Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hucu saja, maka imajinasi agama pada sebahagian masyarakat hanya berkutat pada agama yang diakomodir tersebut. Jamak kita menemukan ada orang yang beranggapan bahwa tidak ada lagi agama di luar agama tersebut. Misalnya, hanya karena Baha’i belum diakomodir oleh negara, maka agama Baha’i dianggap bukan sebagai agama.
Pemahaman akan pluralitas agama yang terbatas dapat pula kita lihat dari bagaimana pandangan orang terhadap Agama Lokal. Kurangnya informasi dan terbatasnya pemahaman soal agama membuat masyarakat melupakan tentang adanya agama agama lokal yang ada di Indonesia. Masyarakat mengakui adanya beberapa agama namun tidak memberikan pengakuan akan eksistensi agama lokal. Karena selama ini, narasi tentang agama hanya didominasi oleh agama yang diakomodir oleh negara.
Pada sisi lain, upaya untuk mengenalkan agama lain kepada penganut agama lainnya masih dianggap tabu dan berbahaya. Padahal, sebagai negara yang beragama, sudah saatnya ada ruang-ruang di mana para pemeluk agama bisa saling mengajar dan berbagi informasi tentang agamanya. Tujuannya bukan untuk saling mengajak untuk berpindah agama namun sebagai upaya membangun jembatan pengetahun agar dapat saling mengenali dan memahami.
“He who knows one, knows none.” Begitu ungkapan masyhur Max Muller, seorang Professor Studi Agama di Universitas Oxford. Dengan bahasa yang sangat filosofis Muller menyebut mereka yang hanya mengetahui satu agama sesungguhnya belum mengetahui apa-apa. Yang ingin disampaikan Muller adalah betapa pentingnya mengetahui dan mempelajari agama yang lain di luar agama yang kita yakini.
Ketidakmampuan dan ketidakberanian untuk melihat dan bergaul dengan iman yang berbeda seringkali mengaantarkan kita pada kesalahfahaman dalam memhami iman yang lain. Adalah wajar jika penganut suatu agama meyakini bahwa agamanya adalah yang agama yang benar. Namun keyakinan itu tidak seharusnya menutup ruang-ruang dialog dan pertemuan antar iman yang berbeda.
Dua Wajah Agama
Sekalipun agama diyakini berisi pesan-pesan kebaikan, namun kenyataannya agama pun seringkali menjadi jastifikasi atas kekerasan dan kebiadaban yang terjadi. Kita bisa berkelit dengan mengatakan kebiadaban tersebut bukanlah wajah dari agama yang bersangkutan, namun lebih kepada perilaku ummatnya. Akan tetapi, sampai kapan penganut agama bisa berkelit, mencoba menjaga nama baik agamanya di tengah maraknya orang-orang yang membajak nama agama. Para pembajak agama dengan mudahnya menggunakan nama agama untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Di tangan mereka, agama yang sejatinya suci dan berisi pesan-pesan kebaikan menjadi ajaran yang dipenuhi amarah, kebencian dan sumpah serapah.
Atas nama agama, seseorang bisa menjadi begitu baik, begitu toleran, begitu penghargaan, begitu mengasihi. Namun atas nama agama pula ada orang yang begitu kejam, begitu jahat, begitu biadab dan begitu menakutkan. Atas nama agama akhirnya kita melihat dua wajah agama. Wajah agama yang mendamaikan dan wajah agama yang menakutkan.
Adalah tugas kita sejatinya sebagai orang yang tetap percaya pada agama untuk tetap menjaga wajah baik agama. Salah satunya dengan mau bekerjasama dan membuka ruang dialog dengan mereka yang berbeda agama. Menjaga wajah agama hanya dapat dilakukan jika ummat yang berbeda agama mau bekerjasama. Upaya menjaga agama agar tetap terlihat lebih humanis tidak dapat tercapai jika kita masih saja sibuk berdebat dan saling menghina agama yang berbeda.
Dengan beragama, kita harusnya saling mencinta dan menghargai. Bukan saling membenci. Bersama-sama kita harus melekatkan agama pada nilai kemanusiaan. Agama seharusnya tidak membawa kita pada semangat kebencian. Dan tidak seharusnya kita membenci seseorang hanya karena agama yang dianutnya.
Pada akhirnya, dalam beragama kita dilekatkan pada dua pilihan. Apakah dengan mengatas namakan agama kita ingin menjadi pengasih, atau atas nama agama kita ingin menjadi pembenci.
Wallahu A’lam bi Asshwwab.
Penulis: Syamsul Arif Galib
Dosen Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UINAM / Co-Founder Mahabbah Institute for Peace and Goodness (MIPG) serta Bersama Institute.
Tulisan ini sebelumnya pernah diterbitkan di Harian Tribun Timur, 21 Februari 2020