Umat Islam percaya bahwa kitab suci mereka, Al-Qur’an, memiliki banyak sekali fungsi dan manfaat dalam hidup mereka. Baik fungsi yang bersifat spiritual maupun mental-fisikal. Bahkan, banyak orang Muslim yang meyakini, membaca ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an memberi efek praktis, misalnya, untuk keselamatan diri dan penjagaan properti. Atau untuk mempengaruhi orang lain, bahkan makhluk lainnya. Namun, secara normatif para pakar kajian ilmu Al-Qur’an menyebutkan empat fungsi utama dari kitab mukjizat Nabi saw ini: al-huda (petunjuk), al-furqan (pemisah, pembeda), al-syifa (obat), dan al-mau'izah (nasihat).
Saya tidak memiliki kompetensi akademik untuk mengelaborasi lebih dalam keempat fungsi utama tersebut. Selain itu, ulasan tentang perkara ini juga sudah cukup melimpah di internet. Dalam tulisan ini, saya hanya akan menuliskan pengalaman mengenal atau pernah berjumpa dengan tiga di antara beberapa orang yang dapat dijadikan bukti atas manfaat praktis (membaca) Al-Qur’an dalam hidup seseorang.
Tentu saja, tidak mudah menyimpulkan manfaat “praktis” membaca kitab suci hanya berdasarkan testimoni beberapa orang saja. Namun, dalam ilmu antropologi, generalisasi tidak selalu diperlukan dalam kesimpulan penelitian. Setiap pemahaman, pengalaman dan pemaknaan seorang individu atas suatu peristiwa (ruang dan waktu) adalah sesuatu yang dapat dipandang valid atau otentik. Sebab, ia merefleksikan (pandangan tentang) satu (aspek) kebenaran, betapa pun itu bersifat subjektif.
Berdasarkan pengalaman saya berjumpa dengan, bahkan mengenal dekat, beberapa manula, ya benar, manusia lanjut usia, yang rajin dan tekun membaca Al-Qur’an, saya akan mengulas satu saja manfaat nyata dari aktivitas itu terhadap diri mereka, yaitu kesehatan jasmani-rohani dan umur yang relatif panjang. Dalam pengakuan ketiga “informan” saya, atau demi menjawab pertanyaan interogatif saya, salah satu resep atau rahasia dari kesehatan yang mereka nikmati di usia tua adalah ketekunan mereka membaca Al-Qur’an.
Memang, awalnya mereka kebingungan juga untuk menjawab pertanyaan saya yang tak terduga itu. Tapi setelah mereka mencoba merenung, atau mengidentifikasi satu demi satu ritual fisik dan spiritual yang telah mereka jalani selama bertahun-tahun, mereka akhirnya meyakini bhw ritualitas “membaca” Al-Qur’an adalah “kuntji” rahasia dari kondisi fisik dan mental mereka yang masih prima di usia tua.
Tiga Testimoni Pembaca Al-Qur’an
“Informan” pertama saya, kita beri anonim saja, Arifah. Seorang perempuan yang sudah belasan tahun hidup menjanda dengan tiga orang anak yang semuanya sudah berkeluarga. Saat terakhir berjumpa di akhir tahun 2019, dia sudah berumur sekitar 70-an. Saya pertama mengenalnya saat bertetangga rumah di Makassar. Rumahnya persis berdiri di samping rumah kontrakan saya, yang saat itu masih sebagai dosen muda di awal tahun 2000-an.
Selama bertetangga, saya dan istri hampir tiap saat mendengarkan dia membaca Al-Qur’an. Walau dia mengaji dengan suara yang cenderung lirih, tapi karena dinding rumah kami berdempetan, kami tetap bisa mendengar suaranya mengalun sendu di celah-celah lobang ventilasi rumah kami. Selama bertetangga itu pula, kami dapat mencermati kalau bu Arifah juga rutin bersalat jemaah isya dan subuh di masjid di kompleks perumahan yang sama. Di mata kami dan tetangga lainnya, bu Arifah tak pelak adalah seorang perempuan yang sangat baik hati. Itu terpantul pada wajahnya yang selalu ceria dan murah senyum. Tutur katanya selalu santun dan dia tak pernah terlihat marah. Setiap menyapa saya dan istri selalu disertai kata “nak”.
Pada akhir tahun lalu, saya dan istri kembali mengunjungi rumah bu Arifah untuk merajut kembali tali silaturrahim setelah belasan tahun kami tidak saling bertukar kabar lagi karena banyak hal. Saat bertemu, kami cukup kaget. Wajah bu Arifah tampak tidak banyak berubah dari citra yang masih kami ingat jelas di saat terakhir berpisah. Yaitu, saat saya harus berangkat ke negeri yang jauh untuk melanjutkan pendidikan S2. Wajahnya masih tampak ceria dan berona, jika tidak mau disebut bercahaya. Tanpa mengenakan kaca mata, dia dengan mudah mengenal wajah dan nama kami. Itu saja menunjukkan bahwa indera penglihatan dan pendengaran beliau masih sangat baik.
Singkat cerita, karena penasaran, setelah cukup lama berbincang, saya lalu menanyakan apa resep dia sehingga wajah dan fisiknya tampak tidak banyak berubah setelah belasan tahun. “Aih, saya sudah tua, Nak. Tidak ada ji rahasianya!” Itu jawaban awal bu Arifah. Tapi karena istri turut mencandai dia dan merengek agar mau berbagi tip supaya dia bisa seperti bu Arifah, akhirnya dia mulai bercerita. Selama hampir dua puluhan tahun terakhir, setiap memiliki waktu luang, dia selalu mengambil Al-Qur’an lalu duduk di satu pojok rumah, dan mulai membaca. Dia akan terus membaca sampai tiba saat dia harus mengerjakan hal lain. Begitu seterusnya. “Tidak tahu juga, Nak. Tapi asal sudah membaca Al-Qur’an, rasanya menyenangkan sekali bagi saya. Sampai sering lupa waktu (kapan harus berhenti dulu).”
“Dan kalau saya sudah membaca Al-Qur’an,” dia melanjutkan, “semua masalah yang sedang saya hadapi rasanya menghilang. Bahkan masalah berat sekalipun”. Saat kami pamit pulang, dia kembali mengulang pesannya kepada istri saya, “Mengaji ki nak! Apa pun masalahmu, segera ambil Al-Qur’an dan baca sebanyak mungkin. Banyak sekali manfaatnya!”
Informan kedua saya juga seorang perempuan. Usianya dalam kisaran akhir 70-an. Sebut saja bu Syamsiah. Secara fisik perempuan tua ini masih sangat gesit. Penglihatan dan pendengarannya masih kuat. Dia masih bisa melihat dengan jelas jejeran pegunungan beberapa kilometer jauhnya di ujung hamparan persawahan di depan rumahnya yang terletak di sisi barat jalanan menuju ke Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Maros. Saat membaca Al-Qur’an pun, dia tidak menggunakan kaca mata baca. Dia bahkan masih mampu mengangkat air dalam ember kapasitas 16 liter dari sumur untuk mengisi bejana air dalam rumah tiang yang dia tinggali bersama seorang kemanakannya.
Saya mengenal bu Syamsiah saat rumahnya menjadi tempat bermalam kami peserta dialog akhir tahun yang dilaksanakan oleh organisasi mahasiswa ekstrakampus komisariat fakultas saya. Sebagai senior mereka, saya diundang menjadi pemantik dialog yang berlangsung menjelang detik-detik pergantian tahun. Tentu saja, sebagai mahasiswa S1 tingkat akhir, usia saya ketika itu masih tergolong muda. Artinya, kalau bukan karena ketakjuban tertentu saat berjumpa dengan sosok bu Syamsiah, saya tentu tidak akan tertarik menanyakan rahasia dari stamina fisik dan mental beliau di usia lanjut. Bukankah yang sering penasaran bertanya soal resep awet muda adalah mereka yang sudah setengah baya tapi masih mau tampil seperti anak-anak muda. Atau mereka yang sudah memasuki usia tua tapi belum mau atau siap menerima kenyataan.
Saat itu, saya mencoba membandingkan bu Syamsiah dengan rata-rata perempuan Bugis-Makassar seusia beliau yang pernah saya jumpai. Mereka pada umumnya tidak lagi gesit. Daya indra pendengaran dan penglihatan mereka pun umumnya sudah sangat menurun di usia 70-an. Tidak jarang dari mereka hanya bisa berjalan pelan sambil membungkuk, atau bahkan sudah tidak dapat leluasa berjalan sama sekali.
Di pagi hari, saat kami menyantap sarapan teh panas dan pisang goreng hangat buatan bu Syamsiah, saya iseng menanyakan amalan beliau sehingga masih tetap sehat, kuat dan gesit di usia lanjut. Lama beliau terdiam sebelum akhirnya mulai mengingat-ingat beberapa penggalan kisah hidupnya yang mungkin relevan untuk menjawab pertanyaan saya.
Dia bercerita, sejak dua puluhan tahun terakhir, dia rutin salat berjamaah subuh di masjid terdekat, sekisar 300 meter dari rumahnya. Setiap kembali dari masjid, dia akan membaca Al-Qur’an sampai tiba saatnya dia harus membuat sarapan pagi. Bu Syamsiah tidak pernah bersuami hingga usia tuanya. Karena itu, ketika semua saudaranya berpindah rumah setelah berkeluarga, dialah yang melanjutkan mendiami dan merawat rumah warisan orang tuanya itu. Selama beberapa tahun belakangan, secara bergantian, beberapa kemanakannya menemani dia tinggal di rumah itu. Salah satu kemanakannya itu adalah mahasiswi yang menjadi tuan rumah dialog akhir tahun bersama belasan temannya waktu itu.
Bu Syamsiah menuturkan, sejak dua tahun terakhir, aktivitas rutinnya bersalat subuh di masjid sudah terhenti. Saudara-saudara dan kemanakannya mulai mengkhawatirkan kesalamatannya. Semakin hari, jalanan depan rumahnya semakin ramai dengan kendaraan bermotor. Mereka memandang, dalam usia setua itu, sudah terlalu berisiko jika bu Syamsiah masih harus berjalan kaki di sisi kiri-kanan jalan bolak-balik dari rumah ke masjid.
Kendati demikian, rutinitas bu Syamsiah bangun sekitar jam tiga subuh, salat tahajud, dan berlanjut membaca Al-Qur’an sambil menunggu azan subuh masih berlanjut hingga saat kami bermalam pergantian tahun di rumahnya pada pertengahan 1990-an. Seperti bu Arifah, bu Syamsiah juga sangat gemar membaca Al-Qur’an. Bu Syamsiah mengaku setiap kali dia selesai mengerjakan pekerjaan rumah, dia akan kembali mengaji.
Di salah satu tiang kayu tengah rumahnya, saya melihat ada satu mushaf Al-Qur’an ukuran standar di masa itu yang tergeletak di atas bantal tua. Mungkin karena keseringan disentuh dan dibaca, sampul luar mushaf itu sudah mulai terkelupas. Ujung kertas di kedua sudutnya sudah melepuh. Tidak ada kaca mata baca di sekitar mushaf itu. Memang, selama setengah hari semalam bersama beliau, saya tak pernah melihatnya memakai kaca mata.
Sebenarnya, ada informan ketiga saya terkait dengan hipotesis tentang adanya hubungan yang signifikan antara rutinitas membaca Al-Qur’an dengan panjangnya umur dan kualitas kesehatan seseorang. Dan beliau adalah nenek saya sendiri. Tepatnya, adik perempuan dari kakek saya dari jalur bapak. Dengan kata lain, tante bapak saya. Namanya disingkat saja Nenek Kamida.
Justru karena nenek sendiri, kisahnya mungkin tidak begitu istimewa untuk saya ceritakan di sini. Lagipula, saya punya beberapa kakek dan nenek lainnya yang juga adalah pembaca Al-Qur’an yang tekun. Yang jelas, rutinitas hidup Nenek Kamida tidak banyak berbeda dari bu Arifah dan bu Syamsiah di atas. Hampir setiap kali saya berkunjung ke rumah tante saya, atau anak Nenek Kamida, si nenek pasti sedang mengaji di kamarnya. Seberapa lama pun saya di rumah tante saya, kalau si nenek belum merasa saatnya berhenti, dia akan terus mengaji. Umurnya saat meninggal beberapa tahun lalu hampir 90 tahun. Sebelum meninggal, dia tidak pernah sakit keras sehingga harus diopnamie di rumah sakit.
Yang menarik, walau rutin membaca Qur’an, tapi bacaan Nenek K jauh dari fasih dan benar menurut ilmu tajwid. Itu bukan karena seluruh gigi beliau memang sudah tanggal. Cara beliau membaca Al-Qur’an merepresentasikan orientasi pengajaran Al-Qur’an dalam masyarakat setempat untuk generasinya. Di masa-masa itu, yang dipentingkan adalah sekadar mampu membaca Qur’an dalam huruf hijaiyyah. Perkara ketepatan penyebutan huruf (makharijul huruf) dan membaca sesuai kaidah tajwid cenderung diabaikan.
Makanya, menggelikan mendengar Nenek K atau orang-orang segenerasi beliau saat mengaji. Sekadar contoh, alih-alih membaca “alhamdu lillahi rabbil ‘alamin”, kita mendengarnya membaca “alhangdu lillahi rabbile alaming”, “arrahemanir rahing”, “maliki yaumidding”, dst. Biasa juga menjadi “'alamii”, “rahii” dan “yaumiddii”. Jadi, terdengar sisipan atau tambahan huruf vokal atau diftong khas “ng” orang-orang Bugis Makassar ketika berbahasa Indonesia. “Makan ikan” terdengar seperti “makang ikang”, he he he.
Seperti saya sebutkan di awal, ini baru tiga sosok manula pembaca Qur’an yang rajin dan tekun. Lebih banyak lagi orang-orang tua yang pernah saya jumpai dengan kebiasaan yang sama. Dan semuanya menunjukkan kondisi fisik dan mental yang sama. Di saat usia mereka sudah kepala tujuh atau delapan, mereka masih tampak sehat, gesit, dan jauh dari gejala kepikunan.
Dari ketiga contoh kasus tersebut, terlihat adanya korelasi yang signifikan antara ketelatenan dan ketekunan membaca Al-Qur’an dengan tingkat kesehatan dan panjangnya umur seseorang. Namun, kita tidak perlu terburu-buru mengambil kesimpulan seperti itu. Secara lebih akademik, kita perlu pula membaca beberapa temuan mutakhir di bidang kesehatan, juga psikologi dan neurosains, tentang kaitan antara membaca buku secara umum dengan kesehatan mental dan kepikunan. Artinya, tidak mesti kitab suci, membaca buku biasa saja ternyata punya efek positif terhadap kesehatan dan usia seseorang.
Membaca Buku dan Umur Panjang
Di antara riset yang secara luas sudah dipublikasikan adalah studi oleh University Yale yang diterbitkan di jurnal Social Science and Medicine (vol. 164, September 2016: 44-4). Studi ini menemukan bahwa membaca buku secara positif berkorelasi dengan peningkatan panjang usia seseorang. Dengan kata lain, orang-orang yang membaca buku akan hidup sekitar dua tahun lebih panjang daripada mereka yang tidak membaca buku.
Para peneliti dari universitas ini menemukan bahwa orang-orang yang membaca buku menunjukkan kemampuan kognitif yang lebih kuat, seperti mengingat dan menghitung mundur. Namun, penelitian ini mengingatkan, membaca majalah dan surat kabar tidak memiliki efek yang sama, kecuali pembacanya menghabiskan lebih dari tujuh jam dalam seminggu dalam aktivitas itu.
Memang belum begitu dijelaskan dalam riset ini tentang mengapa ada kaitan yang kuat antara membaca dan usia panjang. Namun, beberapa penelitian sebelumnya juga mengajukan argumen bahwa orang yang membaca buku cenderung lebih sehat, kaya, dan terpelajar. Semua hal yang disebut terakhir jelas dapat berkontribusi terhadap umur yang lebih panjang.
Sebuah riset terpisah terhadap 4.164 orang dewasa di Inggris, termasuk mereka yang membaca dan tidak, menemukan bahwa orang dewasa yang membaca sekadar 20 menit seminggu memiliki lebih 20 persen kemungkinan untuk merasa puas dengan hidup mereka. Sebaliknya, 28 persen lebih mungkin bagi yang bukan pembaca untuk melaporkan perasaan depresi daripada yang membaca secara teratur sebagai kesenangan. “Satu dari empat pembaca mengatakan bahwa membaca membantu mereka untuk mengurangi rasa kesepian” (weforum, 2015).
Tentu saja ada beberapa perbedaan antara membaca buku biasa dengan membaca Al-Qur’an. Pertama, jarang sekali orang membaca buku dengan bersuara (keras). Sebaliknya, membaca Al-Qur’an itu umumnya identik dengan membaca dengan mengeraskan suara sehingga si pembaca dan orang lain dapat mendengarkan pembacaan itu. Cara seperti ini saja menuntut seorang pembaca Al-Qur’an untuk mengaktifkan lebih banyak organ tubuh: mata, lidah, mulut, telinga dan juga tangan (untuk memegang mushaf).
Kedua, orang membaca buku bertujuan memahami isi atau kandungannya. Sebaliknya, tidak semua orang yang membaca Al-Qur’an bertujuan untuk memahami kandungannya. Bahkan, sekalipun seseorang bisa memahami bahasa Arab, saat membaca Al-Qur’an dia tidak selalu berupaya memahami semua artinya, tapi sekadar untuk mendapatkan pahala dari bacaannya itu.
Sementara itu, persamaan membaca buku biasa dan Al-Qur’an terlihat pada dua hal. Pertama, keduanya memerlukan kemampuan mengeja atau membaca sejenis huruf, misalnya Latin dan Arab. Maka seseorang yang sedang membaca sesungguhnya melakukan aktivitas berpikir secara spontan dan konstan, yaitu menyambung huruf satu demi satu sehingga menjadi kata, kata demi kata menjadi kalimat dan seterusnya. Orang yang buta huruf jelas tidak akan pernah bisa membaca tulisan yang ditulis dalam huruf terkait.
Dengan demikian, membaca, baik buku maupun Al-Qur’an, meniscayakan aktivitas berpikir. Kedua, baik membaca buku maupun Al-Qur’an menuntut kemampuan memusatkan konsentrasi pada apa yang sedang dibaca. Dan itu bisa saja berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Faktanya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk berkonsentrasi pada satu titik atau satu hal dalam durasi yang lama.
Temuan-temuan mutakhir di bidang neurosains menunjukkan bahwa membaca termasuk salah satu aktivitas mental yang dapat membantu orang berusia lanjut terhindar dari penyakit-penyakit yang terkait dengan usia tua seperti demensia. Demensia adalah penyakit yang mengakibatkan penurunan daya ingat dan cara berpikir. Salah satu jenis demensia adalah alzheimer, penyakit otak yang mengakibatkan penurunan daya ingat, kemampuan berpikir dan bicara, serta perubahan perilaku secara bertahap.
Satu studi yang dimuat dalam New England Journal of Medicine menemukan bahwa aktivitas yang merangsang secara mental seperti membaca, bermain kartu atau permainan papan (catur, halma, dll), dan teka-teki silang dapat mencegah atau mengurangi resiko kehilangan ingatan karena faktor pertambahan usia. Dengan kata lain, membaca dan aktivitas lain yang menantang secara mental dapat membantu orang lanjut usia tetap tajam secara mental.
Riset tentang Efek Fisik-Psikologis Membaca Al-Qur’an
Sekali lagi, walau ada persamaan tertentu antara membaca buku biasa dan membaca kitab suci seperti Al-Qur’an, jelas terdapat juga perbedaan penting yang, karena itu, memberi efek yang berbeda bagi pembacanya. Sudah ada sejumlah riset dasar yang menyimpulkan, orang-orang yang membaca Al-Qur’an, akan memperoleh pengaruh positif terhadap kesehatan mereka, terutama dalam hal tekanan darah, detak jantung, dan tingkat stres.
Yang paling luas dikutip secara online adalah hasil riset pakar psikologi dari Belanda, Professor Vander Hoven (2002), tentang pengaruh membaca Al-Qur’an dan pengucapan berulang-ulang kata “Allah”, baik oleh pasien maupun orang normal atau sehat. Dalam penelitian yang dilakukannya terhadap subjek selama masa tiga tahun itu, Hoven menyimpulkan bahwa orang Muslim yang membaca Al-Qur’an dengan teratur dapat mencegah penyakit-penyakit psikologis dan fisiologis.
Yang menarik, beberapa pasien Professor Hoven adalah non-Muslim dan beberapa subjek lainnya tidak dapat berbahasa Arab tetapi dilatih untuk mengucapkan kata “Allah” dengan jelas. Rupanya, setiap huruf dari kata “Allah” itu memiliki pengaruh tertentu dalam proses penyembuhan penyakit psikologis seorang pasien. Inilah salah satu perbedaan membaca buku biasa dengan Al-Qur’an.
Tentu saja, jika seorang Muslim menilik dari sudut pandang normatif dan doktriner, dia akan menyebutkan jauh lebih banyak lagi perbedaan antara membaca Al-Qur’an dengan buku biasa, bahkan dengan kitab-kitab suci agama lain sekalipun.
Penelitian menarik lainnya, dan cukup luas diulas secara online, dilakukan di Inggris. Dalam penelitian ini, lebih dahulu diperiksa detak jantung, tingkat stres dan tekanan darah para subjek riset sebelum dan sesudah membaca Al-Quran. Setelah itu, faktor-faktor yang sama diperiksa sebelum dan sesudah membaca buku non-agama dalam teks Arab.
Temuannya mencengangkan. Tekanan darah, detak jantung dan tingkat stres yang dirasakan para siswa turun setelah membaca Al-Quran suci. Namun efek yang sama tidak terlihat pada subjek riset setelah mereka membaca buku lainnya. Dari riset ini, para peneliti menyimpulkan bahwa pembacaan Al-Quran tampaknya bermanfaat baik untuk kesejahteraan psikologis dan fisik setiap individu.
Simpulan: Jangan Manjakan Otak, Teruslah Berpikir
Dari ulasan-ulasan di atas terlihat bahwa terdapat korelasi yang sangat bermakna antara aktivitas membaca secara teratur, telaten dan tekun dengan beberapa unsur penting yang menentukan kesehatan tubuh dan mental seseorang. Ini, pada gilirannya, memungkinkan orang yang bersangkutan memiliki atau menikmati umur panjang.
Membaca Al-Qur’an secara rutin, runtut dan runcit bahkan memiliki korelasi yang lebih signifikan lagi dengan kualitas kesehatan fisik dan psikis seseorang. Dan itu bukan hanya karena faktor aktivitas mental membaca kitab suci ini yang secara umum sama dengan aktivitas membaca buku biasa, tetapi juga karena adanya “keistimewaan” dari huruf-huruf dan ayat-ayat Al-Qur’an. Kaum Muslim percaya, sebagai mukjizat dari Allah kepada Nabi-Nya, setiap huruf, ayat dan surah dalam Al-Qur’an memiliki khasiat tertentu yang tidak dikandung dalam buku biasa, bahkan kitab suci yang lain.
Lepas dari perbedaan antara membaca buku dan kitab suci, ada satu wasiat yang sudah umum diterima; Jangan berhenti berpikir! Atau jangan berhenti bergerak! Yang memanjakan otaknya sebagai instrumen berpikir, terutama di usia tua, akan merasakan satu demi satu fungsi-fungsi organ tubuh dia lainnya lebih cepat mengalami kemunduran.
Marcus Cicero (106-43 SM), filsuf dan orator Yunani, punya ucapan terkenal: “Ikan membusuk mulai dari kepala”. Artinya, ikan membusuk sampai ekor, dimulai dari otaknya. Ucapan ini memang terkait dengan pembusukan elit politik di kalangan petinggi Roma di masa Cicero yang menyebabkan pembusukan di kalangan masyarakat biasa juga. Tapi ia bisa juga dipahami apa adanya sesuai konteks pembicaraan kita di sini. Bahwa jika organ otak seseorang mengalami pasivitas, atau bahkan kerusakan, maka kerusakan fungsi-fungsi organ lainnya hanya masalah waktu.
Karena itu, jika organ lain terpaksa berhenti bekerja seiring degradasi umur, upayakan otak kita tetap berfungsi aktif. Salah satu cara untuk terus menggiatkan kinerja otak secara optimal adalah dengan membaca buku. Jika Anda seorang Muslim, dan ingin mendapatkan manfaat fisik-psikologis-material (duniawi) dari membaca sekaligus manfaat eskatologis (ukhrawi), maka perbanyaklah membaca Al-Qur’an. Dengan kata lain, selain secara doktriner bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik, aktivitas fisikal-mental dalam bentuk membaca Al-Qur’an itu juga menyehatkan dan memanjangkan umur yang, konsekuensinya, memperpanjang nafas perjuangan kita di dunia ini, yang makin ke sini makin membutuhkan pegangan yang tak rapuh. Bagaimana, Bung?
(WH, Ramadan, 19/05/2020)
Penulis: Wahyuddin Halim, Ph.D
Dosen Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar
Tulisan ini dapat juga dibaca di sini: https://carabaca.id/membaca-al-quran/