Dalam pandangan sederhana saya, salah satu kelemahan dasar dalam dunia pendidikan dasar dan menengah di Indonesia adalah adanya kesenjangan mencolok antara program belajar "tentang" dan proses belajar "ber-".
Sebagai contoh, mungkin sejak SD dan yang pasti di SMP, sudah jadi keharusan siswa di Indonesia sudah belajar mata pelajaran Bahasa Inggris hingga tingkat SMA bahkan PT.
Tapi, apakah rerata jebolan SMA yang kini jadi mahasiswa S1 sudah mampu dan cakap "berbahasa" Inggris? Ternyata tidak. Minimal itu berdasar pengalaman saya 20 tahun mengajar mahasiswa. Setelah 10 tahun lebih belajar bahasa asing itu di bangku sekolah, kok mereka masih belum mampu juga menggunakannya?
Salah satu jawabannya, karena mereka lebih banyak belajar atau diajar "TENTANG" ketimbang belajar "BER-bahasa" Inggris. Lebih fokus belajar seluk-beluk tata bahasa, hafal jenis-jenis tenses demi lulus ujian (nasional) daripada belajar menggunakannya untuk karir di masa depan. Dua orientasi berbeda tentunya dan dengan outcome yang akan berbeda pula.
Nah, tampaknya begitu jugalah kondisi Pelajaran Agama di bangku sekolah. Mungkin sejak di PAUD, TK, SD, SMP, SMA bahkan saat kuliah, anak-anak Indonesia sudah mendapatkan "Pendidikan Agama". Tapi apakah mereka umumnya kini telah menjadi orang-orang "beragama" dengan baik? Menjadi agamis (religious) atau saleh (pious)? Ternyata tidak serta-merta demikian. Justru, terlihat banyak paradoks. Kok bisa?
Sama dengan kasus belajar "tentang" Bahasa Inggris di atas, di lembaga-lembaga pendidikan formal, anak-anak sekolah dan mahasiswa lebih banyak "belajar" atau "diajar" tentang agama (kognitif). Itu pun tentang aspek-aspek agama yang sempit, simbolik & ritualistik. Metodenya: hafalan, membeo, ceramah, nyanyian, dan lainnya.
Mereka jarang diajar atau belajar BER-agama secara praktis dan disertai kesadaran (afektif & psikomotorik). Padahal, belajar beragama itu sejatinya lebih berorientasi pada penyemaian, pelatihan atau pembiasaan sejak kecil sifat, sikap dan tindakan moral-etik yang menjadi intisari beragama dan keberagamaan. Ya, katakanlah "pendidikan karakter", dalam bahasa undang-undang.
Memiliki sifat/sikap jujur (tidak suka nyontek), adil, ikhlas, dermawan, toleran, rendah hati, lapang dada, cinta sesama, bersih, gaya hidup sederhana, suka menolong, menghormati orang tua, mencintai kebenaran, berani, amanah, bertanggung jawab, dan lainnya adalah di antara pesan, inti dan tujuan beragama.
Faktanya, sudah pelajaran tentang agama lewat pendidikan formal di sekolah tidak komprehensif, tidak tuntas dan tak jarang salah kaprah, anak-anak didik pun kerap menyaksikan sikap dan perilaku tidak beragama diatraksikan di lingkungan sekolah dan masyarakat sekitar mereka.
Kesimpulannya, mewujudkan generasi BERAGAMA itu tidak cukup dibebankan, diserahkan, dipasrahkan apalagi dikontrakkan ke lembaga pendidikan formal. Itu tugas semua warga, tempat belajarnya di mana saja, bahan pelajarannya alam semesta, metode belajarnya kehidupan nyata, dan masa belajarnya sepanjang usia.
Penulis: Wahyuddin Halim, Ph.D
Dosen Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar