Apa yang dibutuhkan masyarakat yang memiliki keberagaman dalam beragama? Tentu saja pengakuan akan adanya iman yang berbeda, kemampuan untuk menghargai pemeluk iman yang berbeda, serta keadilan bagi setiap pemeluk agama. Mungkin terdengar mudah, namun pada kenyataannya, menjaga harmonisasi antar ummat beragama dalam sebuah negara tentu tidak semudah yang diutarakan.
Keberagaman dapat menjadi kekayaan yang patut dibanggakan, namun adakalanya keberagaman justru adalah bencana bagi mereka yang tidak mampu mengelolanya. Meskipun Harari (2018) dalam bukunya Sapiens menyebutkan bahwa Agama, Imperium dan Uang adalah tiga hal utama yang dapat menyatukan manusia, namun sejarah juga telah menunjukkan kita bagaimana perpecahan karena perbedaan iman terjadi.
Tentu agama bukan satu satunya penyebab perpecahan, seringkali agama hanya digunakan sebagai “bensin” dalam konflik yang terjadi. Jika sudah seperti ini, maka alih alih agama menjadi sumber kebaikan, meminjam istilah Charles Kimball, seorang Professor Studi Agama di Universitas Oklahoma, agama justru berubah menjadi “Evil” atau bencana.
Aroma kebencian yang dibangun berdasarkan perbedaan iman tentu bukan muara dari religiusitas keberagamaan. Agama yang selama ini kita anggap secagai sesuatu yang sacred justru kehilangan nilai nilai kesuciannya. Mun’im Sirry dalam pengantar atas buku Ekspressi Keberagaman di Era Milenium mengingatkan kita; “Bila agama memicu kebencian dan permusuhan, maka ia tak lagi menjadi sumber perdamaian, solidaritas dan keharmonisan.
Model keberagaman yang sangat eksklusif, merasa benar sendiri, tidak memberikan pengakuan akan iman yang lain atau bahkan tidak mau bergaul dan bertetangga dengan iman yang berbeda adalah tantangan dalam masyarakat multi religi. Belakangan, semangat moderasi beragama yang kembali digalakkan sesungguhnya karena ummat beragama cenderung melupakan kemanusiaan dalam beragama sehingga menjadi eksklusif bahkan sampai pada tahap ekstrim.
Dalam gagsan sederhana saya, setidaknya ada empat hal utama yang penting digalakkan dalam membangun relasi antar iman pada masyarakat yang beragam. Gagasan itu terangkum dalam model Piramida Lintas Iman. Bagian dasar dari piramida ini adalah Kesadaran Lintas Iman, lalu naik pada Pemahaman Lintas Iman, dilanjutkan dengan Pengalaman Lintas Iman dan titik puncak yakni Kerjasama Lintas Iman.
Kesadaran Lintas Iman
Kesadaran lintas iman bukan hanya sekedar pengakuan akan adanya iman yang berbeda. Kesadaran lintas iman juga meliputi kerelaan bahwa iman yang berbeda memliki hak yang sama dalam bernegara. Dalam konteks ke Indonesiaan, kesadaran lintas iman meliputi pemahaman bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang dibentuk oleh masyarakat yang beragama. Indonesia adalah negara orang beragama tapi bukan negara agama. Negeri ini dibangun atas kerjasama banyak agama, sehingga diperlukan kesadaran bahwa siapapun di antara kita, selama dia adalah orang Indonesia, maka memiliki hak dan kewajiban yang sama. Termasuk memiliki kesempatan yang sama dalam menempati posisi strategis dalam negara ini selama dirinya layak untuk itu.
Pemahaman Lintas Iman
Poin selanjutnya adalah pemahaman lintas iman. Membangun masyarakat beragam tidak cukup dengan hanya mengakui adanya iman yang berbeda. Yang lebih penting dari itu adalah keinginan untuk memahami dan mencari tahu pemahaman iman yang lain. Tujuannya tentu saja bukan untuk mencari kelemahan namun mencoba mencari titik temu atau setidaknya agar tidak salah paham dalam melihat iman yang berbeda.
Sayangnya, seringkali dalam melihat iman yang lain kita memulainya dari asumsi. Tidak dengan berinteraksi langsung dengan iman yang berbeda. Tidak heran jika yang akhirnya muncul adalah asusmsi yang salah, keliru dan sebenarnya juga tidak disetujui oleh iman yang dimaksudkan tersebut. Dalam banyak kasus, kita justru belajar iman yang lain dari orang yang membenci agama tersebut. Atau mungkin membaca buku yang jelas jelas memberi label buruk kepada iman yang lain. Dapat dibayangkan hasil bacaan dan pembelajaran yang kita lakukan. Olehnya itu, penting kemudian untuk belajar langsung dari penganut iman yang dimaksudkan. Tujuannya, tentu untuk mencegah kesalahpahaman. Bukankah Ketidakpahaman justru lebih baik dibanding Kesalahpahaman.
Pengalaman Lintas Iman
Tingkatan selanjutnya dalam Piramida lintas iman adalah Pengalaman Lintas Iman. Keasadaran akan iman yang berbeda dan pemahaman akan imam yang lain baiknya dilanjutkan dengan keinginan untuk berbaur dengan mereka yang berbeda iman. Hasil perjumpaan dengan mereka yang berbeda iman akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai pengalaman lintas iman. Sebagai masyarakat yang beragam, kita kekurangan dalam hal ini. Sejatinya, pertemuan demi pertemuan dengan iman yang iman perlu digalakkan. Selain untuk membiasakan, juga untuk membangun kepercayaan dan menghilangkan sekat sekat kecurigaan atas kelompok yang berbeda.
Ruang ruang pertemuan lintas iman tidak selalu harus terkait pembicaraan iman. Kegiatan kegiatannya dapat berbentuk kegiatan yang bersifat kegiatan sosial, bahkan bisa dalam bentuk olahraga dan kegiatan menyenangkan lainnya. Inti utamanya adalah perjumpaan pemeluk iman yang berbeda.
Kerjasama Lintas Iman
Bagian akhir dalam piramida lintas iman adalah kerjasama lintas iman. Pada bagian ini, masyarakat beragama dimungkinkan untuk mulai memikirkan hal apa saja yang dapat dilakukan secara bersama sama. Dalam relasi antar iman, jika fokus kita pada perbedaan, maka tentu ada begitu banyak perbedaan dalam setiap iman yang kita yakini masing masing. Alih-alih fokus pada perbedaan, sudah saatnya kita fokus pada titik di mana kita bisa bekerja sama. Fokus pada persamaan memungkinkan kita untuk membangun kerjasama meski dengan iman yang berbeda. Ummat yang berbeda iman dapat bekerjama bersama dalam isu kemanusiaan, mengatasi kemiskinan, ekstrimisme agama, kebersihan, ketidakadilan dan isu isu lainnya.
Pada akhirnya, perjumpaan demi perjumpaan terhadap iman yang berbeda perlu digalakkan. Sentimen bahwa perjumpaan lintas iman justru hanya akan mengubah aqidah dan menurunkan kadar keberimanan harusnya dihilangkan. Daripada membangun tembok di antara iman yang berbeda, hal yang perlu kita lakukan adalah membangun jembatan pertemuan. Semoga dengan itu kita akan saling memahami dan saling memahamkan.
Wallahu A’lam bi Asshwwab.
Penulis: Syamsul Arif Galib
Dosen Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UINAM / Co-Founder Mahabbah Institute for Peace and Goodness (MIPG)
Tulisan ini sebelumnya pernah diterbitkan di Harian Tribun Timur, 30 November 2019