Saat ini, banyak orang tua yang resah dan berharap bahwa, walau belajar secara daring, anak-anak mereka tetap dapat mempelajari seluruh muatan pelajaran sekolah sesuai paket kurikulum reguler selama masa Covid-19 ini. Apakah keresahan dan harapan seperti itu cukup beralasan? Saya kira tidak perlu demikian.
Tidak sulit mengetahui, paket mata pelajaran di sekolah-sekolah selama ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya mutlak harus demikian adanya. Atau mutlak semuanya diperlukan dalam proses perkembangan diri anak-anak kita secara holistik.
Sudah banyak pakar yang mengkritisi sistem pendidikan formal kita yang cenderung mekanistis, bahkan robotik, atau tidak memanusiakan peserta didik. Juga tidak membebaskan, sebagai dikatakan oleh Sindhunata. Atau tidak memerdekakan seperti diharapkan Mas Mendikbud Nadiem. Lebih-lebih, tidak membahagiakan, seperti disindir Haidar Bagir. Pokoknya, sudah banyak studi, kurikulum lembaga-lembaga pendidikan kita seringkali tidak relevan, tidak link and match, tidak catch up, dengan kebutuhan dan potensi tantangan hidup peserta didik secara konkret dan aktual.
Maka, di masa penangkaran dalam rumah karena pandemi Covid-19, tidak ada salahnya mencoba mendayagunakan waktu bersama dengan anak-anak untuk "belajar bersama-sama" tentang, misalnya, hakikat kehidupan dalam dimensinya yang lebih luas dan dalam. Pokoknya, tentang hal-hal yang tidak dibicarakan dalam kurikulum sekolah mereka. Ajak mereka membaca buku-buku yang lebih serius tapi tetap yang mereka sukai. Sisihkan dulu sejenak buku-buku paket sekolah yang cepat menjenuhkan.
Katakanlah, misalnya, kita ajak mereka berbincang tentang filsafat kehidupan: Kita ini sebenarnya dari mana? Kita hadir di dunia ini untuk apa? Setelah ini kita mau ke mana? Apa itu kebahagiaan? Seberapa lama kita akan bersama sebagai keluarga? Selama ini kalian bersekolah untuk apa? Apakah kalian suka bersekolah atau tidak, kenapa? Sejauh ini sekolah telah memberi manfaat apa saja bagi kalian? dsb dst.
Tentu, bagi keluarga yang religius, yang lebih penting lagi adalah mengisi waktu bersama mereka dengan berupaya meningkatkan kesadaran mereka tentang adanya Tuhan, tentang Yang Ilahi, Yang Kudus, tentang kepastian hari kiamat (yang semakin dekat kedatangannya?), tentang hari akhirat dan konsekuensi-konsekuensi yang akan kita terima jika tidak mempersiapkan diri untuk itu selama hidup duniawi kita.
Ringkasnya, selama bersama anak-anak sekolah kita sepanjang waktu di rumah, entah hingga berapa minggu dan bulan lagi ke depan, cobalah menambal atau menutupi apa yang jadi celah atau cacat dalam program lembaga-lembaga pendidikan modern kita saat ini. Yang lebih fokus mengajarkan tentang hal-hal yang dimaksudkan sekadar untuk sukses hidup yang lebih (jika tidak semata-mata) bersifat material dan fisikal atau duniawi. Atau lebih fokus pada pengembangan aspek kognitif/pengetahuan/hafalan daripada pembinaan karakter dan kecakapan hidup.
Apakah kira-kira gunanya suatu program pendidikan jika ia justru membuat peserta didik tidak mampu mengetahui dirinya sendiri; atau tidak mampu menjadi diri sendiri yang otentik; atau menjadi manusia sebagaimana adanya. Apalagi jika satu sistem pendidikan malah lebih membuat peserta didik lebih menjauh dari dan bahkan melupakan Penciptanya.
Apakah saya sudah mempraktikkannya dalam keluarga saya sendiri? Pertanyaan yang bagus. Jawabannya: kami sudah memulai, atau sedang mencoba. Tentu belum sepenuhnya sesuai harapan. Tapi yang pasti, kami tidak begitu risau memikirkan tentang kemungkinan ketertinggalan anak-anak kami dalam pelajaran sekolah mereka hanya karena kini mereka harus sistem belajar secara daring. Dan, selama masa pandemik Covid-19 ini, kami memilih menjadi guru kehidupan dalam rumah daripada menjadi (pengganti) guru sekolah untuk anak-anak kami (WH).
Penulis: Wahyuddin Halim, Ph.D
Dosen Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar