Dalam keheningan malam, Jibril menemui Muhammad. Sosok Agung yang dipilih Tuhan menjadi penutup para Nabi. Penyempurna titah Tuhan di muka bumi. Dalam keadaan terkejut Nabi mendapatkan perintah pertama dari Tuhan. Pesan langit yang dibawa Jibril dan meminta sang Nabi mematuhi. Titah itu, seperti yang diucapkan Jibril; Bacalah.
Al-‘Alaq, 1-5 adalah wahyu pertama yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad Saw. Sebuah surah yang dimulai dengan seruan membaca. Jika difikir, begitu pentingnya kegiatan membaca bagi ummat Islam hingga kemudian titah pertama itu adalah perintah membaca.
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Ayat pertama Surah Al-‘Alaq bagaikan menyatakan; Bacalah wahyu Ilahi yang sebentar lagi akan banyak engkau terima, Baca juga alam dan masyarakatmu. Bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan. Bacalah semua itu tetapi dengan syarat hal tersebut engkau lakukan dengan atau demi nama Tuhan yang selalu memelihara dan membimbingmu dan Yang mencipta makhluk kapan dan di manapun (Tafsir Al-Mishbah Vol 15 : 392)
Seribu tahun lebih pasca pertemuan Baginda Nabi dan Jibril di malam itu, Islam berhasil menjadi salah satu agama terbesar di dunia. Menyebar pesat hingga tidak lagi mengenal batas batas teritorial. Meski diturunkan di Mekkah. Islam berhasil menyebar hingga ribuan kilometer dari Mekah. Dari Afrika, Ke Eropa. Menyeberang ke Amerika. Dibawa pedagang ke Asia dan menjadi besar di Asia Tenggara. Islam betul-betul menjadi agama dunia. Indonesia akhirnya muncul menjadi negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di dunia. Setiap penelitian dan pembicaraan tentang Islam hampir dipastikan mengambil Indonesia sebagai salah satu fokus penelitiannya. Sulit membincang Islam tanpa menoleh ke Indonesia.
Menariknya, tahun 2016 lalu, Central Connecticut State University melakukan penelitian terkait dengan tingkat literasi masyarakat dunia. Penelitian yang dilakukan terhadap 61 negara tersebut alhasil menempatkan Indonesia pada urutan 60. Hanya menang satu tingkat di atas sebuah negara di Afrika, Botswana. Miris. Sebuah negara dengan mayoritas Muslim terbesar, yang titah pertama yang diturungkan kepadanya adalah membaca, Justru menjadi negara yang tingkat literasinya sangat rendah.
Kegemasan seperti inilah yang menginspirasi sosok semacam Eko Prasetyo untuk menuliskan buku, Al-Alaq; Bacalah! Baginya, perintah membaca adalah perintah yang paling sering diabaikan (xxxiv). “Kita gampang ditipu karena kurang membaca. Orang menjadi sombong karena tidak membaca.” Ujarnya dalam sebuah diskusi tentang bukunya. Ummat Islam gampang marah, tersinggung dan dengan mudah mempercayai berita bohong. Bisa jadi jawabannya karena membaca bukan lagi menjadi sebuah budaya utama dalam keseharian ummat Islam.
Islam dan Tradisi Buku
Islam pernah menjadi peradaban yang besar karena membaca dan menghargai bacaan. Dalam Encyclopedia of Knowledge (130:1993) yang diterbitkan oleh Grolier di tahun 1993, tertulis jelas bahwa jika membincang literasi harus membawa nama Islam juga di sana. Disebutkan bahwa sejak awal munculnya di abad ke 7, Islam merupakan sebuah agama yang memiliki “tradisi buku” yang sangat kuat. Dan ketika Islam kemudian menyebar hingga Asia, Afrika Utara hingga Spanyol, tradisi itu juga ikut dibawa.
Hatem Bazian, Co-Founder sekaligus juga Professor Hukum Islam dan Teologi di Zaytuna College dalam tulisannya di sebuah koran Turki, Daily Sabah menyebutkan bahwa alasan dibalik stagnansi di dunia Muslim saat ini sesungguhnya bukanlah salah siapa-siapa melaingkan salah ummat Islam sendiri yang meninggalkan pembacaan sejati Al-Qur’an yang sangat menekankan pentingnya pengetahuan.
Dalam tulisannya yang berjudul; Books and Reading in the Muslim world; A Serious Crisis (2015), dosen di UC Berkeley ini mengemukakan bahwa membaca merupakan sebuah seni yang kini hilang di antara mayoritas ummat Islam. Padahal, selama berabad-abad peradaban Islam sangat menghormati dan meninggikan buku-buku. Dari 56 Penerbit teratas di dunia saat ini, tidak satupun di antaranya ada di negara Muslim.
Sebahagian orang mungkin akan menyalahkan kehadiran internet atau mode komunikasi modern yang menjadikan orang tidak lagi membaca. Namun menurut Bazian, masalah kaum Muslim yang menjauh dari buku itu jauh sebelum datangnya era internet. Jika dilacak lebih jauh, ini dimulai di pertengahan abad ke 18 atau bahkan lebih awal dari itu. Penyebabnya pun bermacam-bacam. Di antaranya korupsi di dunia Islam, fokus yang berlebihan kepada dunia militer dan pengetahuan yang bersifat teknis, pemotongan anggaran, runtuhnya lembaga Waqah yang selama ini mendukung dan menjadi tulang punggung gerakan reproduksi gagasan intelektual dalam masyarakat Islam, serta pengasingan para sarjana, pendidik dan kaum terdidik di kalangan masyarakat.
Pandangan Bazian tentu masih bisa diperdebatkan, namun yang pasti, realitas menunjukkan bagaimana semangat literasi baik itu membaca dan menulis di dunia Muslim tidak sebanding dengan jumlahnya yang begitu sangat banyak. Dunia kampus yang dipenuhi anak-anak muda Islam pun kewalahan menemukan cara bagaimana meyakinkan anak muda bahwa membaca dan menulis adalah hal yang penting dan merupakan bagian dari perintah agama.
Mungkin sudah saatnya kita kembali menyuarakan keutamaan membaca di kalangan ummat Islam. Mengisi ruang-ruang ceramah dengan ajakan untuk mau membaca. Dan mengganti teriakan Bakar dengan kata Baca. Agar ummat Islam tidak gampang marah. Tidak gampang dibodohi. Tidak gampang diadu domba atau dipermainkan.
Riak dan kegaduhan yang belakangan ini banyak muncul di Indonesia dan maraknya model KeberIslaman yang dipenuhi amarah, KeberIslaman yang dipenuhi sumpah serapah, jangan-jangan adalah hasil dari model keberIslaman yang tidak didukung oleh semangat membaca.
Sekali lagi, kita betul-betul lupa bahwa titah pertama dari Yang Kuasa adalah membaca.
Wallahu A’lam bi’al-Shawwab
Penulis: Syamsul Arif Galib
Dosen Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UINAM / Co-Founder Mahabbah Institute for Peace and Goodness (MIPG)
Tulisan ini sebelumnya pernah diterbitkan di Harian Tribun Timur, 2 November 2018