Sejak zaman dahulu, agama telah menjadi pedoman manusia dalam mengatasi dan memberikan jawaban atas persoalan kehidupan. Agama dikenal sebagai "way of life" karena aturan-aturan dalam agama menjadi lentera petunjuk jalan bagi manusia. Seperangkat aturan ini mencakup segala aspek, baik yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, atau pun hubungan sesama manusia. Pesan-pesan agama bahkan mengajarkan bagaimana etika manusia dalam pelestarian alam.
Nurman Said dalam bukunya "Merawat Persaudaraan Sejati di Atas Keberagaman Agama" menguraikan gagasan Elisabeth K. Nottingham bahwa agama bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, karena agama mampu memberikan kenyamanan batin bagi penganutnya. Tetapi, persepsi mengenai posisi agama berubah seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemunculan kecerdasan buatan sebagai inovasi teknologi mutakhir pada masa modern dikhawatirkan mampu membuat ajaran agama semakin tidak relevan atau bahkan menggantikan posisi agama.
Seorang ilmuwan Amerika Serikat bernama Marvin Lee Minsky mengartikan kecerdasan buatan atau Artificial Intelegence (AI) adalah suatu teknologi komputer yang diprogram khusus untuk bisa meniru kecerdasan atau perilaku manusia. Teknologi ini sudah menjadi tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ia telah banyak membantu persoalan manusia mulai dari hal-hal kecil; seperti meniru suara manusia, melakukan mesin pencari, membuat janji temu, membayar tagihan sampai ke skala yang lebih besar; yakni mengendalikan populasi yang tak terkendali, mengatasi kelangkaan sumber daya serta mengatur iklim dan polusi.
Kuasa tersebut membuat posisi kecerdasan buatan pada tahap tertentu nampak lebih nyata dibandingkan agama bagi masyarakat yang makin hari makin pragmatis. Zaman sekarang teknologi mampu menggeser posisi agama dalam tujuannya meningkatkan harkat dan martabat manusia. Namun, baru-baru ini ilmuwan-ilmuwan dunia menduga perkembangan kecerdasan buatan yang kian pesat akan mengancam kemanusiaan.
Masa Depan Agama-Agama Dunia
Pendiri cabang psikoanalisis dalam ilmu psikologi, Sigmund Freud (1856-1939) memiliki pandangan bahwa agama primitif tumbuh dalam peradaban manusia disebabkan karena ketidakberdayaan manusia menghadapi sesuatu di luar dirinya. Masyarakat primitif meyakini suatu kekuatan supranatural, karena pikiran mereka belum mampu menjelaskan berbagai misteri alam yang terjadi di sekitar mereka, seperti gempa bumi, petir, gunung meletus, serta peristiwa kematian, wabah bahkan cinta.
Bagi masyarakat Yunani Kuno pasang surut air laut dikaitkan dengan berubahnya suasana hati Dewa Laut Poseidon. Beberapa kebudayaan dunia menganggap gerhana matahari disebabkan oleh suatu makhluk yang memakan matahari, oleh karenanya masyarakat harus menciptakan bunyi-bunyian keras untuk mengusir makhluk itu. Misalnya, pada mitologi Cina yang meyakini gerhana matahari adalah ulah seekor naga yang melahap matahari.
Seiring berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan telah berhasil menjawab misteri-misteri tadi dengan menggunakan metode ilmiah yang kebenarannya berlaku universal. Fenomena gerhana matahari sekarang dijelaskan terjadi karena posisi matahari, bulan dan bumi berada pada satu garis lurus. Ini diakibatkan karena evolusi bumi yang bergerak mengelilingi matahari dan evolusi bulan sebagai setelit bumi yang juga terus bergerak pada porosnya. Hal ini memungkinkan pada suatu masa ketiganya bisa saja berderet dalam satu lintasan garis lurus. Dalam sesaat bumi akan menjadi gelap karena bayang-bayang bulan menutupi sebagian atau seluruh matahari.
Ilmu pengetahuan terus berkembang dan berhasil membuka semua misteri di masa-masa sebelumnya yang tak terpecahkan. Hal tersebut membuat orang-orang mulai skeptik terhadap agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2014 menunjukkan data bahwa sebanyak 22, 8 persen orang Amerika yang tidak menganut agama apa pun. Argumen-argumen rasional bermunculan untuk mendukung keraguan mereka terhadap kepercayaan yang telah diwariskan dari masa ke masa ini.
Pertama, orang-orang modern terutama yang tinggal di negara-negara maju menganggap ajaran dalam kitab suci tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, agama sering kali harus melakukan penafsiran ulang. Ini disebabkan munculnya berbagai fenomena baru yang tidak didapati oleh pemeluk agama pada tempat dan waktu ajaran-ajaran itu turun.
Kedua, orang-orang modern menganggap agama menghambat kemajuan peradaban manusia. Sebagai contoh, dalam sejarah dunia tercatat bahwa kemunduran benua Eropa (The Dark Age) pada Abad ke-5 sampai ke-10 M disebabkan karena kekuasaan mutlak institusi agama yang tidak menghendaki kebebasan berpikir.
Ketiga, Peristiwa pembunuhan ilmuwan-ilmuwan yang menentang institusi agama pada masa lalu menunjukkan kita wajah agama yang lain. Agama yang sering dianggap menampilkan ekspresi cinta dan damai, di sisi lain ternyata menghendaki kekerasan demi membela Tuhan.
Masa Depan Umat Manusia
Sains dan Teknologi di lain pihak muncul sebagai tawaran baru jalan memperoleh jawaban atas kebenaran, yakni solusi bagi kemanusiaan. Kemajuan teknologi di beberapa bidang, seperti kesehatan, pendidikan, informasi, politik, ekonomi dan lain sebagainya banyak membantu pekerjaan manusia.
Keuntungan yang ditawarkan kecerdasan buatan di setiap lini kehidupan manusia dan perkembangan yang amat pesat ternyata mengundang rasa khawatir sehingga memunculkan perdebatan antara para ahli teknologi dunia. Komentar Elon Musk kepada Max Versace, CEO dari Robotics and Computing Boston University Neuromorphics Lab memperingatkan bahaya kemajuan kecerdasan buatan bagi manusia. Ia khawatir teknologi ini bisa menjadi akhir bagi peradaban manusia.
Hal yang menjadikan AI amat mengancam adalah kemampuan teknologi ini untuk mempelajari budaya manusia. Mereka dapat mudah meniru interaksi manusia dan menetapkan keputusan karena semuanya telah terdigitalisasi. Mereka bisa belajar lewat YouTube, buku-buku elektronik, podcast, email dan sebagainya.
Kita perlu merenung secara mendalam, apakah kebudayaan manusia adalah pedoman terbaik untuk suatu kecerdasan baru? Jika ia meniru budaya manusia, maka selain ia akan menyerap nilai-nilai kasih sayang, AI dikhawatirkan akan mengikuti kebiadaban manusia. Mereka yang awalnya diprogram manusia akan berbalik menginvasi penciptanya layaknya di Film Marvel "Avengers: Age of Ultron" tahun 2015
Sebagai masyarakat yang hidup di negara yang berbasis agama diperlukan keseimbangan antara agama dan saintek. Masyarakat ideal yang menggunakan teknologi dengan penuh rasa tanggung jawab tanpa melupakan etika dan moralitas agama. Karena itulah yang membedakan manusia dengan kecerdasan buatan.
Agama sendiri perlu beradaptasi dengan zaman agar bisa dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat. Para penafsir haruslah cerdas dalam membaca situasi masyarakat di mana aturan akan ditetapkan. Sikap bijak agama menghadapi modernitas bukanlah dengan menentang teknologi yang disajikan modernitas, tetapi melakukan re-interpretation atau menafsirkan kembali ajaran agama. Jika masalah ini diabaikan, bisa jadi agama yang kita anut sekarang akan bernasib layaknya kepercayaan masa lalu, yakni menjadi mitologi atau dongeng-dongeng fiktif belaka.